My BELOVED
Kamis, 27 November 2014
Jumat, 14 November 2014
100 Pahlawan Nasional Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Indonesia
Pahlawan
nasional yang paling berpengaruh adalah tokoh yang menjadi sumber inspirasi dan
idola bagi sebagian besar orang Indonesia. Korando telah memilih Pangeran
Diponegoro sebagai pahlawan nasional terhebat sepanjang sejarah bangsa ini.
Segala tindak dan perilaku, penampilan, ucapan dan tindak tanduk orang
berpengaruh tersebut selalu menjadi sorotan, perhatian dan dinantikan media
masa dan masyarakat Indonesia. Untuk menyusun urutan dan rangking adalah sesatu
hal yang paling sulit. Bila penyusunan urutan dilakukan pasti banyak timbul
kontroversi dan silang pendapat oleh semua orang yang melihatnya. Namun, dalam
penyusunan Pahlawan Nasional paling berpengaruh tersebut bukan kontroversi dan
perbedaan itu yang diutamakan. Tetapi paling tidak dapat dijadikan sumber
inspirasi dan panutan bagi masyarakat bangsa ini dikemudian hari.
Diponegoro
adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan
(selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri
non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil
Raden Mas Ontowiryo. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda
memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau
memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap
Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat
itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh
agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono
VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini
kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai
cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Dibalik
kehebatan manusia Indonesia yang berpengaruh tersebut, pasti ada sisi
kekurangannya. Seharusnya segala kekurangan tersebut tidak menutupi nilai
positif dan prestasi yang dicapainya selama ini. Kekurangan ini jugalah dapat
dibuat pelajaran hidup bagi semua orang bahwa manusia selalu tidak ada yang
sempurna dan bukan dijadikan anutan. Disamping itu tokoh yang berpengaruh di
Indonesia bukan hanya karena prestasinya, tetapi akibat pemberitaan pers yang
berlebihan tokoh ini bisa mempengaruhi masyarakat perilaku masyarakat kita
Pahlawan
adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Kata “pahlawan”
berasal dari bahasa Sansekerta phala-wan yang berarti orang yang dari
dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara,
dan agama.
Pahlawan
nasional Indonesia adalah warga Indonesia yang telah meninggal dunia, telah
memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau
perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi
kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan telah melahirkan
gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan
negara.
Pahlawan
nasional adalah seseorang yang telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan
martabat bangsa Indonesia Pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya
berlangsung hampir sepanjang hidupnya, tidak sesaat, dan melebihi tugas yang
diembannya. Perjuangannya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.
Memiliki akhlak dan moral yang tinggi. Pantang menyerah pada lawan ataupun
musuh dalam perjuangannnya. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
merusak nilai perjuangannya.
Inilah 100 Pahlawan Nasional Terhebat Sepanjang Sejarah
Indonesia Versi Korando
- Pangeran Diponegoro
- Soekarno
- Jenderal Soedirman
- Raden Ajeng Kartini
- Ki Hajar Dewantara
- Untung Suropati
- Teuku Umar
- Cut Nyak Dhien
- Yos Sudarso
- Kiai Haji Ahmad Dahlan
- Haji Agus Salim
- Jendral Besar Abdul Harris
Nasution
- Marsekal Muda Abdulrachman
Saleh
- Cut Nyak Meutia
- Dewi Sartika
- Ernest Douwes Dekker
- Wage Rudolf Supratman
- Wahid Hasyim
- Wahidin Sudirohusodo
- Prof. Mr. Achmad Subardjo
- Oto Iskandar di Nata
- Sultan Ageng Tirtayasa
- Sutan Syahrir
- dr. Soetomo
- Syafruddin Prawiranegara
- Jenderal Ahmad Yani
- Drs. Mohammad Hatta
- Teungku Cik di Tiro
- Pangeran Antasari
- Suprijadi
- Kyai Haji Mohammad Hasyim
Asyari
- Jenderal Basuki Rahmat
- Slamet Riyadi
- Kapitan Pattimura
- Robert Wolter Monginsidi
- Dr. Saharjo S.H
- Jenderal Gatot Subroto
- Sultan Hasanuddin
- Halim Perdanakusuma
- Sri Sultan Hamengkubuwana
- CZdr. Cipto Mangunkusumo
- Marsekal Muda Agustinus
Adisucipto
- Sisingamangaraja XII
- Fatmawati
- Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai
- Martha Christina Tiahahu
- Laksamana Laut Martadinata
- Kiai Haji Mas Mansur
- Tuanku Imam Bonjol
- Sultan Iskandar Muda
- Ismail Marzuki
- Marsekal Madya Iswahyudi
- Gusti Pangeran Harya Jatikusumo
- Ir. Raden Juanda Kartawijaya
- Brigadir Jenderal Katamso
Darmokusumo
- Mohammad Husni Thamrin
- Prof. Mohammad Yamin S.H.
- AIP Karel Satsuit Tubun
- Tan Malaka
- Tuanku Tambusai
- Nyi Ageng Serang
- Oemar Said Tjokroaminoto
- Prof. Dr. Suharso
- Kiai Haji Abdul Halim
- Prof. Dr. Soepomo
- Dr. G.S.S.J. Ratulangi
- Kiai Haji Samanhudi
- Sri Susuhunan Pakubuwana VI
- Letnan Jenderal Suprapto
- Sri Susuhunan Pakubuwana X
- Prof. Dr. Hazairin
- Prof. Dr. Ir. Herman Johannes
- Bung Tomo
- Nuku Muhammad Amiruddin’
- Ferdinand Lumbantobing
- Raja Haji Fisabilillah
- Gusti Ketut Jelantik
- Teuku Mohammad Hasan
- Haji Adam Malik
- Ki Sarmidi Mangunsarkoro
- Kiras Bangun (Garamata)
- Dr. Kusumah Atmaja S.H.
- Dr Johanes Leimena
- Johannes Abraham Dimara
- La Madukelleng
- Gusti Ketut Pudja
- Nya’ Abbas Akup
- Mayor Jenderal Adenan Kapau
Gani
- Sukarjo Wiryopranoto
- Maskoen Soemadiredja
- dr. Moewardi
- Dr. Ida Anak Agung Gde Agung
- Prof. Dr. Iwa Kusumasumantri
- Raden Mas Soerjopranoto
- Idham Chalid
- Sultan Agung Hanyokrokusumo
- Muhammad Natsir
- Nani Wartabone
- Pajonga Daeng Ngalie K araeng
Polongbangkeng
- Suroso R.P
PAHLAWAN NASIONAL LAINNYA YANG JUGA
TIDAK KALAH HEBATNYA DALAM SEJARAH INDONESIA
- Kiai Haji Fakhruddin
- Ignatius Joseph Kasimo
Hendrowahyono
- H. Ilyas Yakoub
- Izaak Huru Doko
- Mayor Jenderal Pandjaitan
- Laksamana Muda TNI (Purn.)
Jahja Daniel Dharma
- Wilhelmus Zakaria Johannes
- Kiai Haji Zainal Mustafa
- Gatot Mangkupraja
- Kiai Haji Zainul Arifin
- Silas Papare
- Letnan Jenderal Siswondo
- Kolonel Sugiono
- Nyai Ahmad Dahlan
- Siti Hartinah
- Mayor Jenderal Sutoyo
Siswomiharjo
- Sultan Syarif asim
- Syech Yusuf Tajul Khalwati
- Teuku Nyak Arief
- Abdul Kadir
- Abdul Muis
- Alimin
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah
- Kopral Harun bin Said (Thohir)
- Letnan Jenderal Haryono
- Arie Frederik Lasut
- Mgr. Albertus Sugiyapranata
S.J.
- Raja Ali Haji
- Raden Mas Tumenggung Ario Suryo
- Bagindo Azizchan
- Frans Kaisiepo
- Brigadir Jenderal Hasan Basry
- Tengku Amir Hamzah
- Andi Abdullah Bau Massepe
- Andi Jemma
- Andi Mappanyukki
- Haji Andi Sultan Daeng Raja
- Kiai Haji Achmad Rifai
- Sultan Thaha Sjaifuddin
- Raden Mas Tirto Adhi Soerjo
- Usman Janatin
- Kapten Pierre Tendean
- Pong Tiku
- Marthen Indey
- Radin Inten II
- Ranggong Daeng Romo
- Hajjah Rangkayo Rasuna Said
- Rizal Nurdin
- Opu Daeng Risadju
- Muhammad Isa Anshary
- Sultan Mahmud Badaruddin II
- Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangkunagara I
- Maria Walanda Maramis
Posted on January 29, 2011 by istanamedia
Kumpulan
Foto Pahlawan Nasional
Pangeran
Antasari Ahli Strategi Grilya
Pahlawan
Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.
Pangeran
Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah
Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad.
Selain
itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional
Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi
perang grilya yang mampu memimpin dan menggerakan para pengikutnya dalam
mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.
Cut
Nyak Dien
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak
melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum
imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang
di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan
Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET
NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari
wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah
keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu
Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
bangsawan Lampagar.
Sebagaimana
lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang
tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak
maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut
kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh
didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien
memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet
Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat,
suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan
yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang
mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet
Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan
Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan
dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan
syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik
sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam
rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu
mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang
tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis.
Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa
pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan
dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin
mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika
perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis
depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku
Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien
mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong
dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya
yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia
menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali
suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien
tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir
Belanda.
Begitu
menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang
masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya
sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu
usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan
dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan
Belanda.
Dua
tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak
Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya
akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami
pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan
yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan
terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda
berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar
kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet
Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah
yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang
tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak
meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan
serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang
berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut
Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang
suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di
daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau
tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah
berdamai sekalipun.
Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda
Pada
tanggal 19 Juli 2008 saya, permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi
Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda………… Rumah yang terletak di Jl.Dewi
Sartika – Cicalengka – Kabupaten Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman
priyayi jaman dulu.
Kami
tidak bisa masuk memang…..Namun dari luar suasananya mencerminkan kearifan
beliau itu masih ada……Sayang kami tidak bisa lama di sana….Maklum tempat
tersebut belum dibuka untuk umum…….
Berikut
cuplikan sejarah beliau dari Wikipedia:
Dewi
Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh
perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi
Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi
Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di
Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan,
sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang
nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak
kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan
pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu
itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika
sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang
semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini
didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang
memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh
pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat
yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan
dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya
Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk
perempuan.
Tahun
1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang
yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak
1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah
ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai
berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun
kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya,
serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada
tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya
pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat
kelengkapan sekolah formal.
Dewi
Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan
Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati
Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Dilahirkan
dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan
kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya
menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan
keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun
resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik,
rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal
karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya,
rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,
kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap
bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta
tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran
Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan
atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku
Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda
yang melahirkannya bukanlah permaisuri.
Bagi
orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan.
Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan.
Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada
Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa
yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam
penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.
Namun
sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau
menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau
ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya
semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin
besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang
dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja
Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan
kepahlawanan beliau.
Sebagaimana
diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik
‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat,
bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua
bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin
banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri
kincir angin itu.
Melihat
keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan
memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat
sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan.
Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo.
Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam
perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan
selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara
bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya
sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun
pertama membuat pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.
Namun
setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah
yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi
sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk
tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya,
terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.
Belanda
yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan
berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun
dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun
kekuatannya semakin melemah.
Karena
berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan
licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding,
dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke
tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas
niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan
tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini.
Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan
dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah
kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada
tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana.
Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada
kejaliman manusia.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku
Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional
berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah
pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan
Belanda.
Selama
62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik
bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran
Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar
kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi
Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline.
com/bonjol/petition.html).
Kekejaman
Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan
Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak,
1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974),
kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua
penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek
moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di
daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos
kepahlawanan
Ujung
pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya
tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata
bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap
generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru
bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa
pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak
buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok
pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin,
Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan
bangsa Indonesia.
Jeffrey
Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies,
2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda
sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya
menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia
yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita
tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan
tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai
pahlawan nasional.
Kita
juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa
kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang
beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda
karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan
untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat
kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional
karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan
manusia sempurna
Tak
dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan
Mandailing atau Batak umumnya.
Pada
21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau)
kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang”
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang
selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di
Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut
Parlindungan, 2007:136-41).
Namun,
sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama
melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh
Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting
tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat,
bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Dalam
MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama
orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari
ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita.
Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi
oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan
dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung
Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg
en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang
Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber]
(2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi
kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
Door
Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang,
itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal.
Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu
kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk
melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku
itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan
hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi
dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan
Rembang.
Di
era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum
memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan
menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini
yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai
pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu
diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta
perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan
keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada
saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21
April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang
lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh
orang tuanya.
Dia
hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau
tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana
kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah
seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut
harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia
merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat
sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa
sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan
sama sekali.
Sejak
saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya,
Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui
pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan
mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah
tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.
Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan
demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di
Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang
lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya,
namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya.
Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada
saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai
rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah
menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara
yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah
itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah
Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, dan Cirebon.
Setelah
meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan
menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot
Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat
berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan
tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di
kemudian hari.
Apa
yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan
bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan
dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun
Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni
pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Mengingat
besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan
Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan
hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai
hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Biografi
Biografi
Nama:
Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan
surat-surat:
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Ki
Hajar Dewantara
Seorang
tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah.
Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa
sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang
sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban
menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath
Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian
ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Tagore
dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas
budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir)
pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus
Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada
rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden
Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat
dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan
sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya
bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari
“strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika
berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai
maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan
raganya tentu akan semakin tinggi.
Di
barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki
Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem
among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri
handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah
inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai
aspek kehidupan lain.
Siapakah
sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa
sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi
handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh
sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis,
sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu.
Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga
belum banyak yang tahu.
Tokoh
peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya
diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia
meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak
sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia
tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan
patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain
menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial
dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat
tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia
aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada
waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan
bernegara.
Setelah
itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan
status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada
tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai
wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena
organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda !
Sisingamangaraja XII
Ketika
Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19
tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda
kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai
di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan
beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja
XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus
dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan
dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah
Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak
tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi”
dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli
Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal,
Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan
Sibolga.
Karena
itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu
daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut
“Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan
di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang.
Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae,
Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda
dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De
Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada
tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di
pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII
berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Tahun
1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun
lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Tahun
1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti
masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara
lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh
setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan
penembak-penembak meriam.
Tahun
1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII,
kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan
Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga.
Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada
waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu
alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang
kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front
perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi
koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Tahun
1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja
XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun
1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja
Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah
pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun
1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon,
di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang,
gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten
Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan
Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal
peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di
pangkuannya.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Kemudian
oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan
Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas
Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli
Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.
Sejarah Kapitan Pattimura
Nama
dan Silsilah
Pattimura,
lahir di Saparua.Ia adalah putra Frans Matulesi dengan Fransina Silahoi. Adapun
dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M
Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan
berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy
adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah
putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam
sebuah teluk di Seram Selatan”.
Istilah
Kapitan
Dari
sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian
Belanda. Padahal tidak.
Menurut
Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan
antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap
sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran
yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya
dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa
mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang
dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa
yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah
lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki
kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian
mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah
turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang
melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan
Sebelum
melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam
militer sebagai mantan sersan
Militer Inggris.[2] Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab
Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[3] mengingat pada masa itu banyaknya
kerajaan
Pada
tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah
(landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta
mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa
Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon
dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas
bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu
Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas
militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4] Kedatangan kembali kolonial Belanda
pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena
kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan
Kapitan Pattimura [3] Maka pada waktu pecah perang melawan
penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan
rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman
dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia
berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan
membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui
luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang
Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore,
raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional
itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan
mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk
menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran
yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir
Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni
Rebhok, Philip
Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan
benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano,
Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura
hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.
Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
“PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)